I Hate Red

Standard

Author : Zen

Cast :

Kamiki Ryunosuke… Shida Mirai…

 

Aku benci warna merah…

Shida Mirai mempercepat langkahnya. Ia sudah berlari secepat yang ia bisa tapi rasanya masih saja kurang cepat untuknya. Tatapannya terbagi antara jalan yang ada di depannya dan keitai yang sedang ia pegang di tangannya.

Tidak ada jawaban. Tidak ada telepon ataupun sekedar email balasan dari orang yang sejak tadi berusaha dihubunginya.

Ia menggigit bibir bawahnya, mendesah pelan. “Mikki-kun.. sebenarnya kau dimana?”

Kata ibuku.. semua orang dilahirkan dengan tanpa warna

Ia sendirilah yang harus memilih warna apa yang akan ia pakai suatu saat nanti

Dia bohong

Warna itu yang memilihku, bukan aku yang memilihnya

Prak! Keitai berwarna pink itu terjatuh cukup keras ke aspal disertai erangan Mirai yang juga jatuh tertelungkup di dekatnya. Kondisi langit yang sudah gelap dan pikirannya yang kacau cukup untuk membuatnya tersungkur karena tak memperhatikan jalan.

“Ittai…..” Mirai meringis, mencoba bangkit secepat yang ia bisa. Lutut dan pergelangan tangannya terasa cukup perih karena tergores aspal barusan.

Namun, ia berusaha mengabaikan rasa sakitnya dan menyambar keitainya dengan segera. Ada hal yang lebih penting daripada rasa sakit dan cairan merah yang mulai merembes keluar dari lukanya yang harus ia kejar saat ini.

Satu hal yang ia sadari. Kegelapan, kesendirian dan rasa sakit. Kombinasi ketiganya bisa menciptakan racun yang lebih mematikan dari apa yang mampu ia bayangkan sebelumnya. Dia sama sekali tak tahu apa-apa
tentang bocah itu. Ia tak tahu apa-apa tentang Kamiki Ryunosuke.

Bukan.. bukan warna hitam pekat…

Bukan warna kematian

Warna itu bahkan mungkin lebih baik untukku..

“M.. moshi-moshi. Mikki-kun?” Suara Mirai terdengar bergetar saat akhirnya nada sambung yang cukup lama terputus oleh suara seseorang di seberang sana. “Kau dimana? Aku sudah mencarimu kenama-mana,
pulanglah. Kumohon. Tidak akan ada yang menyalahkanmu. Aku yang akan meyakinkan mereka. Kumohon, Mikki-kun..”

Tidak ada sahutan.

“Mikki-kun, kau mendengarku kan?”

Hanya suara nafas yang lemah yang meyakinkan Mirai kalau bocah laki-laki itu tak mematikan teleponnya.

“Mikki-kun…”

“Semuanya sudah berakhir…” Terdengar suara lirih yang sudah Mirai tunggu sejak tadi. Bocah laki-laki itu menarik nafas panjang. “Sudah cukup..”

“Apa maksudmu…” Mirai tercekat. Nafasnya tertahan.

“Kau tahu dimana bisa menemukanku..”

Bola mata Mirai membulat.

Hanya aku..

Hanya kegelapan…

Hanya rasa sakit..

Hanya kesendirian..

“Bukan ayahku yang membunuh ibuku.. tapi aku…”

Entah berapa kali kata-kata Kamiki kembali terngiang di telinga Mirai.

“Kalau saja aku bisa mencegahnya saat itu, ia pasti tak akan bunuh diri dalam keadaan yang menyedihkan.”

Mirai bahkan tak mampu bilang bahwa ia mengerti perasaan Kamiki meski ia ingin bisa mengatakannya. Ia tak pernah mengalami keadaan yang sama, dan ia juga sama sekali tak berharap.

“Dan aku takkan hidup dengan dendam pada ayahku..”

Bukan perkara mudah bagi Mirai untuk bilang “Kau tak perlu mendendam.. Kau hanya perlu meneruskan hidupmu dan menatap lurus ke depan.. ”

Rasa sakit yang dialami bocah laki-laki itu lebih besar dari apa yang bisa dilihat orang lain. Ayahnya membunuh orang lain karena uang dan dipenjara, ibunya bunuh diri karena tak mampu menahan rasa malu, sedangkan ia sendiri tak mampu melakukan apapun. Ia ditelantarkan begitu saja oleh kedua orangtuanya dengan cara yang berbeda. Ia dibuang dari lingkungannya karena cap dari orang tuanya. Ia sendiri. Selalu sendiri. Sebersih apapun tindakannya, kacamata orang lain sudah terlalu kotor karena masa lalu yang bahkan bukan salahnya.

“Pasti dia yang melakukannya..”

“Aku melihat dia menyelinap ke atap saat kejadian itu terjadi.”

“Pasti dia yang mendorong sensei jatuh dari tangga.”

“Di tubuhnya mengalir darah seorang pembunuh, pasti mudah baginya untuk melakukan hal seperti itu!”

“Pembunuh!”

“Pembunuh!”

“Pembunuh!”

“Yamette yo!” Suara teriakannya sendiri menggema di gendang telinga Mirai. Tidak ada gunanya kalau hanya Mirai yang percaya pada Kamiki. Tak ada yang akan peduli. Ia bahkan bukan siapa-siapa.

Aku tak perlu kekuatan

Aku tak perlu ketenangan

Yang kubutuhkan hanya kepercayaan

Tapi… itu dulu…

Mirai menyentuh kenop pintu ruang seni lukis dengan sedikit gemetar.

Hanya itu satu-satunya tempat yang bisa ia tebak saat Kamiki bilang ia bisa menemukannya.
Kamiki sangat mencintai lukisan. Ia menyukai semua warna. Kecuali satu warna.

Aku benci warna merah

Krieet…

Suara derit pintu terdengar saat Mirai mendorong pintu yang tak terkunci itu. Bocah laki-laki yang ia cari berdiri membelakanginya. Meski hanya diterangi keremangan sinar bulan, Mirai bisa melihat kalau benda tajam yang ada di tangannya berkilau, memantulkan warna merah yang pekat.

Aroma amis darah menyerangnya.

Entah berapa orang manusia yang tergeletak tanpa daya di dekat kaki bocah itu. Genangan darah membanjir di sekelilingnya. Mirai tak perlu melihat semuanya untuk mengetahui hal mengerikan apa yang baru saja terjadi di sini.

“M.. Mikki-kun…” panggil Mirai lirih.

Bocah yang dipanggil Mikki itu memutar badannya. Tatapan matanya kosong tapi sesuatu yang buruk jelas tersirat dari sana.

Dengan gerakan pelan, ia menyentuhkan tangannya yang berlumuran darah ke bibir tipisnya. Ia tersenyum saat melihat Mirai. “Ternyata… warna merah memang paling cocok untukku..” sahutnya dalam seringai tipis yang membuat jantung Mirai segera bergetar hebat.

Karena warna itu tak pernah berhenti melekat padaku

End.

Entahlah ini apa… .-.
sepertinya otak saya sedang konslet. Harap maklum diksi berantakan.

Leave a comment