I’m a Boy, You’re a Girl

Standard

I’m a Boy, You’re a Girl

Main Cast : VIXX Ken / Lee Jaehwan – Jung Hyerin (OC)

Side Cast : Cha Hakyeon, Jung Taekwoon, Kim Wonshik, Lee Hongbin, Han Sanghyuk

Genre : Romance, Humor, Fluff

Disclaimer : Sayangnya saya tidak bisa melabeli Lee Jaehwan sebagai hak milik saya pribadi *sobs* But this storyline is mine! And also, I own my another alter-ego, Jung Hyerin.

Warning : Do not take this storyline without my permission. Say no to plagiator!

.

.

“Stop it, I ask of you…

Until when am I only gonna be a dongsaeng for you?

My speciality is transforming…

I can be an oppa, dongsaeng friend, or even a dad if you want…

Honestly, where can you find a guy like me?”

[Background Music VIXX Feat Okdal – I’m a Boy, You’re a Girl]

Happy reading~

@kendynuna fanfiction

.

.

.

Aku sudah mengaguminya bahkan sebelum aku mengenalnya dengan akrab.

Sejak kapan?

Sejak pertama kali bergabung di perusahaan ini, mungkin?

Entahlah…

Aku  sama sekali tak bisa mengingatnya.

Yang kuingat hanyalah saat Hakyeon hyung mengenalkan wanita itu padaku; namanya Jung Hyerin, satu dari lima copywriter di tempat kami bekerja, dan aku langsung jatuh hati padanya. Dia wanita yang sudah lancang mencuri seluruh duniaku tanpa pernah sedikitpun menyadarinya. Padahal aku telah memberikan sinyal-sinyal yang kuat.

Bahwa aku menyukai… tidak-tidak, aku mencintainya. Sepenuh jiwaku. Dia hanya akan tertawa dan berlalu begitu saja setiap aku menyatakan perasaanku padanya. Terkadang ia hanya tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Kurasa ia tak percaya pada ucapanku. Mungkin juga ia tidak tertarik padaku. Membayangkannya saja sudah membuatku frustasi. Aku, Lee Jaehwan, seorang pria yang punya banyak pesona; secara fisik tinggiku mencapai seratus delapan puluh empat sentimeter, aku punya hidung mancung yang khas, (ala orang-orang Timur Tengah, komentar orang-orang yang mengenalku), wajahku juga cukup tampan―terbukti saat kuliah dulu aku sering mendapat ajakn kencan dari wanita-wanita yang terkenal cantik di kampusku, aku juga pintar menyanyi dan berbakat menjadi komedian (lagi-lagi, ini komentar dari teman-temanku yang sudah cukup lama mengenalku).

Lihat, ‘kan? Aku yakin aku cukup berkualitas sebagai seorang pria…

Tapi aku sekarang menjelma menjadi pria yang menyedihkan karena cintanya belum juga terbalas…

Kata Hakyeon hyung, Creative Director perusahaan periklanan tempat kami mencari nafkah―ia rekan sekantor kamiusahaku untuk meyakinkan Hyerin noonawell, aku tidak cukup beruntung untuk bisa dipanggil dengan sebutan ‘Oppa’ olehnya―masih sangat kurang.

“―wanita itu suka diberi perhatian. Wanita juga suka diberi kejutan. Coba sesekali kau beri dia kejutan yang spesial, agar ia benar-benar menyadari perasaanmu yang sesungguhnya…” ujar Hakyeon hyung dengan wajah serius siang ini selepas meeting yang melelahkan otak. Kami berenam―Tim Creative Department Starlight Advertising Agency; aku, Hakyeon hyung, Taekwoon hyung, Wonshik, Hongbin, dan Sanghyuk memutuskan untuk makan siang di luar, alih-alih mengantri di kafetaria kantor.

Hakyeon hyung baru saja menelurkan petuahnya untukku.

Di sebelahnya Sanghyuk dan Wonshik kompak mengangguk. Menyetujui setiap ucapan yang keluar dari mulut pimpinan kami itu.

“Aku sudah membuat daftar apa-apa yang disukai dan tidak disukai Hyerin. Ini…” Hakyeon hyung menyodorkan sebuah map berwarna coklat tua ke tanganku. Aku menerimanya dengan wajah bingung.

“Kapan kau menanyai Hyerin noona dan membuat daftar ini, hyung?” tanyaku heran ketika membuka-buka lembar isi map. Disitu tertulis dengan sangat terperinci apa saja yang disukai dan tidak disukai oleh Hyerin noona.

Hakyeong hyung mengibaskan tangan tak dengan ekspresi tak sabar. “Itu tidak penting. Kau tahu, aku gemas sekali melihat hubungan kalian yang jalan di tempat. Bayangkan saja! Tiga tahun nyaris terlewat, dan kalian berdua masih saja berputar-putar entah di ujung benang kusut yang mana. Aku tak tahu, Hyerin yang kelewat tidak peka atau kau yang terlalu bodoh untuk menarik perhatian anak itu…”

Aku memamerkan cengiranku. Mau bagaimana lagi? Hyerin noona termasuk tipikal wanita yang benar-benar sulit untuk diyakinkan. Hakyeon hyung tadi sudah bilang kan? Tiga tahun aku berusaha mendapatkan perhatian lebih dari Hyerin noona, dan tetap saja belum menampakkan hasil yang melegakan. Benar-benar menyedihkan…

“Sudah, hentikan cengiranmu. Kita pesan makanan sekarang. Wonshik, Hongbin, Sanghyuk, berhenti menatap daftar menu dengan wajah seperti itu. Aku tidak akan membayar apapun menu yang kalian pilih jika harganya tidak sesuai dengan isi dompetku…”

Hyung, kau ini pelit. Katanya mau mentraktir kami, tapi membatasi harganya…” gerutu Hyuk. Art Director termuda yang baru bergabung lima bulan lalu itu bersiap menghindar ketika Hakyeon hyung mulai terlihat mengeluarkan jurus-potong-leher-angsa-nya. Meja yang kami tempati segera riuh oleh gelak tawa. Sanghyuk tak berkutik karena lengan Hakyeon hyung keburu melingkari lehernya. Diantara kami berenam, memang dua orang itu yang sering adu gulat satu sama lain, tapi tentu saja hanya sekedar main-main belaka. Kebetulan kami tinggal bersama-sama sejak kuliah.

Tadinya hanya aku dan Hongbin yang ikut menetap di rumah Hakyeon hyung. Lalu datang Taekwoon hyung dan Wonshik. Sanghyuk adalah yang terakhir bergabung. Dulunya ia adik kelas Hakyeon hyung saat sekolah menengah pertama. Bisa dibilang ia adalah maknae―anak termuda―kami, walaupun jelas-jelas kami semua tidak memiliki ikatan darah satu sama lain. Melihat Sanghyuk yang di bully Hakyeon hyung benar-benar hiburan yang menyegarkan, walaupun sebenarnya di rumah pun aku sudah sering melihatnya. Poor Sanghyuk…

.

.

.

 “Noona, kau belum pulang? Ini sudah pukul satu dini hari…” Aku melirik Hyerin noona yang masih berkutat di depan layar komputer. Raut wajahnya terlihat sangat serius. Sesekali bibirnya bergumam kecil. Beruntung bagiku, posisi sebagai Art Director membuatku bisa berpasangan dengannya.

Dalam pekerjaan, maksudku…

Di dunia advertising/periklanan, seorang copywriter dan Art Director merupakan komposisi yang tidak bisa dipisahkan. Seperti kombinasi antara Yin dan Yang. Hitam dan Putih. Terang dan Gelap. Tentu saja hal ini kerap dijadikan bahan lawakan oleh rekan-rekan kami. Hampir semuanya tahu bahwa aku menaruh hati pada wanita yang duduk tepat di sebelahku sekarang ini. Mereka bilang kami terlihat cocok. Saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Aku menanggapi dengan sukacita, sementara Hyerin noona hanya tertawa tanpa mengiyakan atau membantah pernyataan itu.

“Oh, Jaehwan-ah… Kau juga belum pulang?” Hyerin noona menoleh dengan seulas senyum.

Aku mengerucutkan bibirku. “Noona jahat sekali. Dari tadi pagi ada makhluk tampan duduk di sebelahmu, dan kau tidak menyadarinya? Aigoo―ya ampun… Malang sekali nasib makhluk itu…”

Hyerin noona tertawa tertahan. Sepasang mata kecilnya seolah menghilang. Susah payah aku menahan keinginan untuk mencubit pipinya, karena saat ini ia terlihat-amat-sangat-menggemaskan. Bagaimana bisa wanita berumur duapuluh lima tahun mempunyai pesona layaknya seorang bayi berusia beberapa bulan?

“Ah, maafkan aku… Mungkin aku terlalu terfokus pada draft storyline dari iklan terbaru untuk Hanwoo Company. Mianhae―maaf, Jaehwan-ah…”

Lihatlah bagaimana ia meminta maaf dengan wajah dan senyum selugu itu. Atau ketika ia tertawa tanpa suara. Semua hal yang ada pada dirinya sungguh menyihirku, membuat fungsi otakku terhenti sesaat… Kurasa aku benar-benar telah terperangkap begitu dalam pada lautan pesona seorang nona Jung…

“Ngg… Jaehwan-ah? Kau kenapa?”

Aku tergagap. “A-ah, aniyo―tidak. Noona mau pulang sekarang?” Aku menegakkan diri ketika melihatnya mulai merapikan berkas-berkas dan mematikan komputer.

Ne―ya. Kurasa mataku sudah tidak sanggup membuka lebih lama lagi, hahaha…”

Aku ikut tertawa.

Untukku, Hyerin noona sudah seperti moodbooster, moodmaker, happy virus, dan entah-julukan-apa-lagi-yang-pantas-dia-sandang. Rasanya hanya dengan melihat tawa terpasang di wajahnya saja sudah bisa membuatku meleleh seperti cokelat dipanaskan diatas wajan.

“Jadi… bagaimana? Noona mau kuantar pulang kan?” kataku dengan gaya sesantai mungkin. Diam-diam aku menyilangkan dua jari telunjuk di belakang punggungku. Kuharap ia menerima tawaranku.

Kumohon, noona… Kali ini saja… Jangan menolak…

Hyerin noona mengembangkan senyum. “Kurasa… aku…” Hyerin noona menahan ucapannya.

Ayolah noona, kumohon…

Mendadak Hyerin noona tertawa keras sembari memegangi perutnya.

Ige… mwoya―apa-apaan ini???

“Lihat betapa seriusnya wajahmu saat ini, Jaehwan-ah… Hahahaha… Aduh perutku… Ahahahahaha…”

Aku mendengus sebal. Teganya ia menertawaiku yang sudah harap-harap cemas menunggu jawaban darinya.

“Ahahaha… maaf, maaf… Habis, wajah seriusmu itu terlihat lucu sih…”

“Sudah puas menertawaiku?”

Aigoo, uri Jaehwan-ie merajuk rupanya… Kwiyeoptaaa~lucunyaaaa~…” Hyerin noona mencubit pelan pipi kananku.

Aku semakin kesal. Hyerin noona selalu memperlakukanku seperti bocah. Benar-benar membuatku terlihat semakin menyedihkan…

“Sampai kapan noona akan bersikap seperti ini?”

“Eh?”

Noona, kau tahu pasti bagaimana perasaanku padamu. Kenapa noona selalu berpura-pura tidak sadar bahwa perhatianku untukmu bukanlah jenis perhatian yang biasa diberikan oleh sesama rekan kerja?”

“Aku tahu, mungkin bagimu aku tidak termasuk tipe lelaki idealmu, tapi aku bisa berusaha menjadi orang yang tepat untukmu…”

“… Aku tidak mengerti mengapa sampai sekarang noona tak pernah menganggapku sebagai lelaki dewasa. Apakah karena perbedaan usia kita? Jika saja aku lahir sepuluh bulan lebih awal darimu, mungkinkah kau akan melihatku sebagai seorang pria? Bukan sebagai seorang adik lelaki yang lucu dan menyenangkan?” Napasku tersengal setelah mengutarakan serentetan kalimat panjang berupa luapan emosi yang sudah lama tertahan di otakku. Kulihat ada keterkejutan di wajah Hyerin noona. Matanya mengerjap berulang kali. Bibirnya membuka menutup tanpa suara.

Jika setelah ini ia malah semakin menganggapku sebagai anak kecil, mungkin aku akan langsung terjun saja kedalam Sungai Han saking malunya.

Dasar kau bodoh, Lee Jaehwan! umpatku dalam hati.

“… Akhirnya aku bisa melihat sisi lain darimu, Jaehwan-ah… Aku senang, dan terkesan padamu, karena kau sedikit berubah…”

Eh??? A-apa maksudnya??? Kenapa situasinya jadi seperti ini?

Hyerin noona melebarkan senyumnya. “Kajja―ayo. Kau bilang mau mengantarku pulang kan? Ppaliwa―lekaslah…”

Aku mematung. Telingaku, kau tidak membohongi tuanmu kan? Barusan ia bilang…

 

“Sampai kapan kau mau duduk disitu, Jaehwan-ah??? Ppaliwa―cepatlah… Aku sudah sangat mengantuk…”

Aku segera tersadar. Hyerin noona tertawa kecil. Ia berdiri di depan pintu keluar yang menghubungkan ruang kerja kami dengan ruang meeting.

Tunggu! Sejak kapan ia sudah ada disana?

No-noona… Tunggu sebentar! Apa maksud ucapanmu tadi? A-aku tidak mengerti… Noona, h-hey… Tunggu aku!”

You’re a boy, I’m a girl~ So what are we gonna do?

.

.

.

Leave a comment